Sejarah adalah jejak langkah yang tak bisa kita ulang, tetapi boleh kita renungkan. Indonesia dan Belanda memiliki cerita panjang yang ruwet, penuh luka, namun juga membentuk siapa kita hari ini. Tetapi, pernahkah kita berpikir: seandainya dulu Belanda datang tidak sebagai penguasa yang menindas, melainkan sebagai sahabat yang menyapa, akankah Indonesia pernah merasa perlu merdeka?
Tentu, sulit membayangkan jawaban pasti. Sejarah adalah sungai yang hanya mengalir ke satu arah. Namun, sepanjang alirannya, kita bisa melihat bahwa relasi kolonial Belanda-Indonesia lebih didasari oleh ketamakan, bukan persahabatan. Bukan hanya meriam dan senapan yang mereka bawa, tetapi juga sebuah imaji: bahwa bangsa yang mereka temui di Nusantara ini hanyalah anak kecil yang patuh, penurut, bahkan bodoh.
Begitu lama stereotip itu menjadi kacamata yang mereka pakai saat memandang kita. Orang Indonesia dilihat sebagai bangsa yang penakut, malas, suka menunda, hanya hidup untuk hari ini, tak peduli akan masa depan. Namun, di balik senyum ramah dan adat yang santun, bangsa ini menyimpan sesuatu yang tidak pernah mereka perhitungkan: harga diri.
Kala itu, Belanda mungkin berpikir bahwa dengan merangkai stereotip, mereka telah menciptakan bangsa yang tak akan melawan. Mereka lupa bahwa meski perlahan, rakyat yang dipinggirkan itu tak pernah benar-benar tunduk. Dari Banten, Cirebon, Sumatera, hingga Sulawesi, tak henti-henti suara perlawanan berdengung, kadang samar, kadang menggelegar.
Yang tragis, Belanda pun sebenarnya punya pilihan lain. Andai saja mereka datang dengan cara yang lebih bijak, tanpa menginjak martabat bangsa ini, tanpa menukar tanah subur Nusantara dengan kemiskinan rakyatnya, mungkin hubungan kedua bangsa ini tak harus berakhir dengan kemerdekaan yang penuh darah dan air mata.
Seandainya mereka sejak awal menganggap Indonesia sebagai mitra, bukan koloni. Seandainya mereka berbagi kekuasaan, membangun bersama, mempercayai anak-anak bangsa untuk turut memegang kendali negeri mereka sendiri, barangkali Indonesia tidak perlu berteriak "merdeka" pada pagi itu di Jalan Pegangsaan Timur.
Banyak yang lupa, bahwa di masa kolonial pun, Indonesia adalah rumah bagi kemakmuran yang luar biasa. Di tangan petani yang dituduh malas itu, kopi, gula, cengkeh, tembakau, hingga teh, tumbuh subur dan memenuhi pelabuhan-pelabuhan Eropa. Tanpa keringat rakyat Nusantara, negeri Belanda barangkali hanya menjadi negara kecil yang kering di utara Eropa.
Namun, keserakahan adalah penyakit yang merusak segalanya. Sistem tanam paksa memaksa petani menanam bukan untuk mereka sendiri, tetapi untuk pasar Eropa. Buruh-buruh pribumi diperas tenaganya tanpa keadilan. Stereotip tentang ketidakmampuan mereka justru digunakan untuk melegitimasi penindasan yang tak berkesudahan.
Akhirnya, ketika Jepang menggulingkan Belanda pada 1942, rakyat Indonesia tak sedikitpun punya alasan untuk merindukan kembalinya penguasa lama. Ketika Proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, itu bukan hanya soal mengambil alih kendali negeri, tetapi juga menegaskan bahwa Indonesia tak lagi mau dianggap sebagai bangsa rendahan yang tak bisa mengurus dirinya sendiri.
Namun, ironinya, jika Belanda datang sebagai sahabat, mungkin Indonesia tidak akan keberatan berjalan bersama. Seperti Australia, Kanada, atau Selandia Baru yang tetap menjadi bagian dari Inggris meski telah mendapatkan hak otonomi mereka, Indonesia pun bisa saja memilih jalan yang serupa. Tapi Belanda telah menutup kemungkinan itu sejak awal, dengan cara mereka memperlakukan rakyat negeri ini.
Kini, Indonesia adalah bangsa yang telah lama merdeka. Stereotip itu memang masih kadang terdengar, bahkan kadang tak sadar kita warisi sendiri. Tapi perjalanan bangsa ini menunjukkan, kita bukanlah bangsa yang lemah. Kita adalah bangsa yang memilih merdeka, bukan hanya karena keadaan, tetapi karena harga diri.
Andai Belanda datang dengan tangan terbuka, bukan dengan rantai dan cambuk, mungkin sejarah akan lain. Mungkin kita akan tumbuh bersama, saling menguatkan, menjadi keluarga dari dua bangsa yang berbeda. Tapi sejarah tidak pernah mau menulis jalan yang mudah. Ia memilih jalannya sendiri, seringkali berliku, pahit, namun mendewasakan.
Sekarang, kita hanya bisa menatap ke belakang sambil mengangguk. Bukan untuk menyesali, tapi untuk mengingat bahwa kemerdekaan ini bukan sekadar tanggal di kalender. Ia adalah darah dan air mata yang menegaskan bahwa bangsa ini tidak pernah benar-benar bisa dijajah.
Dan barangkali, di antara aroma kopi yang harum dari Mandailing, Gayo, dan pegunungan Jawa hari ini, terselip pelajaran yang sama: kita mungkin terlihat ramah dan tenang, tetapi jangan pernah mengira kita takut untuk melawan.
Dibuat oleh AI
No comments:
Post a Comment